Di Blog Ini Mungkin Kalian bisa Mendapatkan yang di inginkan, dan Semoga Bermanfaat.

Selasa, 18 Agustus 2009

"KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN DALAM PENGELOLAAN ASET (SDA) DAN PERUSAHAAN (BUMN) STRATEGIS BANGSA"

Harapan besar terjadinya perubahan ekonomi pasca Pemilihan Umum sepanjang sejarah di era reformasi selalu diciutkan dengan pemilihan tim ekonomi yang tetap saja searus dengan jalan (ekonomi) neoliberal. Tak pelak kemudian jalan yang ditempuh selalu adalah manifestasi Konsensus Washington, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.

Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional sepertihalnya liberalisasi pertanian yang dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar.

Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat.

Penguasaan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita.

Proses ini terus berjalan dan diinginkan terus berkelanjutan. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga ditempuh oleh pemerintah. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu.

Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita masih terbenam pada jebakan utang luar negeri senilai 81,2 milyar US $. Pemerintah memang membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri.

Stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”. Jalan ekonomi neoliberal pemerintah telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial karena mengarahkan pada kembalinya kekuasaan modal internasional yang telah coba dirubuhkan Bapak Pendiri Bangsa melalui agenda nasionalisasi.

Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing yang kini menguasai 85% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh kepemilikan perbankan di Indonesia (FRI, 2007).

Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal pemerintah telah kian menjauh dari perwujudan ekonomi kerakyatan. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% ”kue produksi nasional”, sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%.

Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005.

Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan pemerintah.

Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (FRI, 2007).

Kehancuran lingkungan hidup yang terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.

Bagaimana keluar dari kebuntuan jalan ini?

Jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya.

Sebagai pedoman adalah ”Jalan Baru Pendiri bangsa” yang sudah diletakkan 64 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini. Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.

Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945.

Kini Pemilihan Umum 2009 dapat dijadikan momentum untuk menegaskan perlunya jalan baru bagi perekonomian Indonesia, yaitu (kembali ke) jalan demokrasi ekonomi melalui sistem ekonomi kerakyatan. Sebagai langkah awal perlu segera disusun visi bersama dan peta jalan (roadmap) yang akan menjadi pedoman bagi segenap upaya demokratisasi ekonomi Indonesia. Berdasarkan kerangka pikir itulah maka kami memandang perlunya diselenggarakan Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan dengan tema ”Konsepsi Ekonomi Kerakyatan dalam Pengelolaan Aset (SDA) dan Perusahaan Strategis (BUMN) Bangsa”.


0 komentar:

Posting Komentar

CO.CC:Free Domain