Pemilu 2009 telah digelar. Hasilnya sudah dapat dapat diperkirakan berdasarkan quick count yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga survey atau berdasarkan data real count yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan umum (KPU).
Sampai dengan tulisan ini dibuat hasilnya untuk sementara menempatkan Partai Demokrat sebagai jawara disusul oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atau Golkar (Golongan Karya) yang saling bergantian menempati posisi kedua dan ketiga.
Dan dalam posisi keempat adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di atas Partai Amanat Nasional (PAN) yang diketuai oleh Sutrisno Bachir. Saya ingat dalam sebuah pemberitaan setahun lalu (18/4/2008), pada sebuah diskusi politik di Gedung DPR/MPR, Sutrisno Bachir sempat mengatakan, “Bagi kita, PKS tidak seksi dan nothing, bukan apa-apa.”
Menurut Soetrisno, yang akan dikalahkan PAN adalah Golkar dan PDIP. Bukan PKS yang jumlah kursinya lebih kecil dari PAN. “Kepada seluruh kader PAN di seluruh Indonesia selalu saya tegaskan, yang harus ditakuti bukan PKS. Sebab, yang akan kita kalahkan adalah Golkar dan PDIP,” tegasnya (Jawapos Online).
Pernyataan tersebut menemukan sebuah fakta nyata seterang matahari di siang bolong pada saat ini. Yakni ternyata raihan suara PAN tidaklah dapat mengungguli PKS. Dan cita-cita mengalahkan Golkar dan PDIP hanyalah menjadi sebuah proyek negasi, utopia.
Saya yakin bahwa apa yang dinyatakan oleh Sutrisno Bachir setahun lalu itu adalah sebuah bentuk optimisme dari seorang pimpinan. Tak mungkin seorang panglima perang memberikan sesuatu yang berkebalikannya. Namun ada yang salah dalam penempatannya.
Jika itu dinyatakan dalam sebuah pemberian motivasi di hadapan kadernya sendiri mungkin tidak akan jadi masalah. Tetapi bermasalah jika itu diungkapkan di hadapan publik. Sehingga yang tampak adalah sebuah kearoganan. Ukurannya adalah salah satu dari parameter ini menolak kebenaran atau meremehkan manusia. Terakhir ini yang tepat ditujukan buat Sutrisno Bachir.
Dan yang perlu diralat atau ditambahkan dari pernyataan Sutrisno Bachir setahun lalu itu walaupun sejatinya kursi DPR RI yang diperoleh PKS lebih kecil daripada yang diraih PAN tetapi raihan suara PKS dalam pemilu legislatif 2004 jelas lebih besar daripada PAN. Dan di Pemilu 2009 menegaskan lagi tentang PKS something bukan nothing.
Pelajaran yang dapat diambil dari semua ini—bukan hanya untuk PAN semata, juga untuk PKS sendiri dan partai-partai lainnya—adalah perlunya sikap untuk menjaga lidah dan etika berpolitik. Setiap benih-benih kesombongan akan menemukan kehancurannya, karena sesungguhnya kesombongan itu hanyalah milik dari Sang Maha Pencipta saja.
Dan tentu, selain ada malaikat yang mencatat pernyataannya akan ada banyak orang yang akan selalu meingingatnya. Salah satunya saya yang setahun kemudian mengilas balik masa lalu ini sebagai sebuah bentuk pembelajaran bagi kita semua. Yang sudah terjadi biarlah terjadi.
Tak perlu menangisi susu yang telah tumpah. Karena yang terpenting bagi kedua partai ini—PAN ataupun PKS yang sama-sama berbasis masyarakat Islam—ada banyak agenda bangsa menunggu di depan, dan sinergi keduanya tetap dibutuhkan dan dinanti oleh rakyat. Semoga.
Riza Almanfaluthi, riza.almanfaluthi@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar